Medan || Noda kembali terkuak dan itu menciderai kebebasan pers serta hak publik akan informasi kinerja wakil rakyat yang tupoksinya sebagai pembuat uu, pengawasan dan penganggaran menjadi tidak rasional. Luka itu sekarang menganga, akibat perlakuan oknum anggota DPRD Sumut dari Fraksi Partai Golkar, juga Sekretaris Komisi E DPRD Sumut, Edi Suhrahman Sinurayah, Senin, 15 September 2025, diduga mengusir wartawan unit DPRD Sumut.
Terkait adanya dugaan pengusiran wartawan oleh anggota DPRD Sumut, Aktivis Muda Sumatera Utara, Hazanul Arifin Rambe pun angkat bicara.
"Wartawan yang diduga diusir itu viral, dan menjadi sorotan publik, kini sorotan itu benar benar tertuju ke gedung DPRD Sumut, guna mengkaji atau menganalisis apakah menggelar rapat tertutup sah hanya dengan mengatakan tertutup saja, tanpa adanya dikeluarkan surat pernyataan tertulis hasil musyawarah kesepakatan bersama untuk menyatakan rapat tertutup," tukas Hazanul Arifin Rambe, kepada wartawan, Senin (22/9/2025).
Hazanul Arifin Rambe, yang akrab disapa Gopal, ini pun mengungkap, bahwa DPRD ini dapat dikatakan telah melakukan semacam pembangkangan aturan tata tertib, terkait mekanisme rapat terbuka dan tertutup, yang telah dibuat mereka sendiri. Demikian pula rapat yang dikatakan tertutup, diputuskan hanya melalui lisan tanpa pernyataan tertulis bahwa rapat dinyatakan tertutup. Secara subjektif tanpa dasar yang kuat, jelas adalah bentuk pengingkaran terhadap nalar publik dan prinsip prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sebab rapat tertutup semacam itu, hanya akan menyuburkan korupsi, dan melanggengkan politik transaksional.
"Attitude Edi Suhrahman dipertanyakan, selaku beliau pemangku amanah rakyat, jika mengalami krisis sebaiknya mundur saja atau non aktif, ketimbang kelak nanti, jika krisis attitude ini akan meluas, dapat melakukan apa saja seperti hal dugaan korupsi dan lain lain," ujar Ketua Masyarakat Garuda Sumatera Utara ini.
Disamping krisis attitude, sambung Gopal, Edi Suhrahman juga, diduga memiliki temperamental yang tinggi dan un kontrol, karena walaupun dia sebagai sekretaris komisi, dia harus menghargai atau menghormati pimpinan rapat, karena Ketua Komisi E pada saat itu hadir, maka yang menjadi pimpinan rapat adalah Ketua, dan dia sebagai anggota. Sebagai anggota harus mematuhi tata tertib rapat, apabila rapat lagi berjalan, jika ada hal yang ingin disampaikan atau melarang sesuatu saat rapat berlangsung, wajib interupsi atau izin kepada pimpinan, dan sebelum pimpinan memberi izin, tidak diperkenankan berdiri, menghardik atau mengeluarkan suara keras dan lantang untuk mengusir seseorang atau wartawan. Jika itu dilanggar maka itu adalah salah satu pelanggaran Kode etik.
"Dengan apa yang dilakukan oleh Edi Sinurayah itu, menandakan bahwa dia telah melanggar kode Etik tata tertib rapat dan pengusiran wartawan itu telah terjadi dilakukannya, tanpa mempertimbangkan bahwa beliau adalah servant of the people (pelayan rakyat), dimana rapat sedang berlangsung, Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Aleksander Sinulinggah, sedang membacakan materi, kemudian secara spontan Edi Sinurayah berdiri dan matanya tertuju ke wartawan yang meliput rdp tersebut. Dan tanpa diduga, suara keras dan lantang itu keluar dari bibir Edi Suhrahman, tertuju ke wartawan yang meliput, serta merta beliau mengusir wartawan itu, seakan akan dia berada di kantornya atau di rumahnya yang sudah menjadi habbit (kebiasaan), apabila tidak senang, tinggal main usir saja, dan cerminan akhlak dewan itu sangat dikhawatirkan untuk keberlangsungan demokrasi bangsa ini kedepan," imbuhnya.
Cerminan itu, masih kata Gopal, seakan akan mempertontonkan dugaan arogansi dan kesombongan akhlak dan mental, namun timbul pertanyaan, mengapa dia begitu takut diliput oleh wartawan, siapa sebenarnya Aleksander Sinulinggah ini, apa kedepan yang diduga akan dikerjasamakan oleh Kadis Pendidikan ini dengan Komisi E atau dengan dirinya, ini kan menjadi pertanyaan besar tentang keterkaitan Edi Sinurayah dengan Aleksander Sinulinggah, mengapa sikap dan attitude Edi Sinurayah tidak mencerminkan sebagai servant of the people?" ucap Gopal.
Gopal juga menyayangkan tindakan Ketua Komisi E DPRD Sumut, H.M Subhandi, ST, diduga subahat, dengan mengatakan kepada wartawan yang diusir itu, bahwa memang benar rapat tertutup, namun Subhandi tidak memaparkan secara rinci mekanisme rapat tertutup dan hanya omon omon mengatakan rapat tertutup.
"Ketua dan Sekretaris Komisi E DPRD Sumut diduga telah membohongi pers dan publik, untuk rdp tertutup bukan sekedar omon omon saja, karena seyogyanya dprd yang duduk di gedung rakyat itu, resmi dan diakui negara sebagai servant of the people," ujarnya.
Lanjutnya, dugaan pengusiran wartawan yang beraroma arogansi itu bukan sekadar persoalan etika, itu berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40 tahun 1999, yang tegas melarang penghalangan kerja jurnalistik diancam pidana hingga dua tahun kurungan atau denda Rp500 juta.
Kemudian Hazanul Arifin juga meminta dengan tegas kepada Ketua Badan Kehormatan Dewan (BKD) DPRD Sumut, Pintor Banjarnahor agar oknum anggota DPRD Sumut Edi Suhrahman ini segera dipanggil dan diberi sanksi agar arogansi dan temperamentalnya dapat ditenangkan dengan beristirahat dirumah agar diperbaiki adanya dugaan tekanan mentalnya yang un stabil.
"Kepada Ketua BKD DPRD Sumut, Bapak Pintor Banjarnahor diminta agar panggil dan adili Edi Suhrahman Sinurayah dan beri sanksi karena telah jelas jelas melanggar kode etik dan UU Pers," tutupnya.
Sementara, Praktisi Hukum, A. Salim, SH, juga angkat bicara terkait adanya pengusiran wartawan itu. Salim yang panggilan sehari harinya, juga memberi pernyataan, dimana dalam statementnya, Salim memaparkan bahwa Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan forum resmi DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan daerah. Secara prinsip, forum ini bersifat terbuka untuk umum, kecuali jika ada keputusan resmi untuk dilakukan tertutup.
"Kasus pengusiran wartawan dalam RDP DPRD Sumut dengan salah satu dinas memunculkan polemik, karena dianggap sebagai bentuk penghalangan kerja jurnalistik dan cerminan arogansi kekuasaan," ujar A. Salim, S.H.
Salim juga mengurai tentang hal konstitusional dan kemerdekaan pers, dimana pada Pasal 28F UUD 1945, berbunyi, Hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi dijamin konstitusi. Dan di UU No.40 tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 4 Ayat (1) - (3), Pers berhak mencari dan menyebarluaskan informasi. Di Pasal 18 Ayat (1), Menghalangi kerja wartawan dapat dipidana 2 tahun atau denda Rp500 juta.
"Artinya, pengusiran wartawan tanpa dasar yang sah adalah bentuk pelanggaran hak konstitusional dan melawan hukum. DPRD sebagai representasi rakyat seharusnya mengedepankan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan publik. Tindakan pengusiran wartawan tanpa keputusan sah tentang status rapat (terbuka atau tertutup) mencerminkan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power)," ungkapnya.
Sikap seperti ini, masih kata Salim, dapat menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat, karena lebih menunjukkan arogansi daripada pengabdian.
"Jika RDP ditetapkan tertutup, DPRD berwenang membatasi akses wartawan, tetapi penetapan itu harus jelas, resmi, dan tercatat dalam tata tertib rapat. Dan tetap mengedepankan nilai nilai etika bahwa bahwa setiap profesi memiliki sisi kehormatan terlepas apapun itu selama profesi yang tidak melanggar konstitusi, apalagi profesi wartawan, jelas diatur pada UU Pers dan jelas kehadirannya diakui negara secara konstitusi yang relevan," terangnya.
Lebih lanjut, Salim juga mengemukakan bahwa DPRD Sumut perlu memberi klarifikasi dan evaluasi tata tertib rapat agar tidak menimbulkan kesewenang wenangan di masyarakat di lain waktu. Perlu pendidikan politik dan etika komunikasi publik bagi anggota dewan agar tidak memperlihatkan sikap arogan kepada wartawan maupun masyarakat.
"Jika diduga pengusiran wartawan dalam RDP DPRD Sumut dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, merupakan tindakan arogan, melawan prinsip keterbukaan publik dan melanggar UU Pers. Secara prinsip hukum, RDP DPRD Sumut adalah terbuka untuk umum (berdasarkan UU KIP dan prinsip akuntabilitas). Dan rapat bisa tertutup hanya jika, diputuskan secara resmi oleh pimpinan rapat, ada alasan hukum yang sah, misalnya, terkait rahasia negara, privasi, keamanan dan lain lain," pungkasnya.
Dan diakhir perkataan, Salim mengatakan bahwa sesuai ketentuan dalm Tatib DPRD (yang bersumber dari PP No.12 tahun 2018), DPRD sebagai lembaga rakyat seharusnya mengedepankan sikap transparan dan menghormati hak wartawan sebagai pilar demokrasi, bukan justru menghalanginya.
Dan selanjutnya awak media ini melakukan konfirmasi ke anggota DPRD Sumut Edi Suhrahman Sinurayah, namun sampai berita ini ditayangkan, tidak mendapat jawaban, begitu juga dengan Ketua DPRD Sumut, Erni Aryanti Sitorus, juga tidak mendapat jawaban hingga berita ini ditayangkan.
Namun konfirmasi ke Ketua Komisi E DPRD Sumut, H.M Subhandi, ST, terkait dugaan pengusiran itu mengatakan bahwa selama ini apabila rapat tertutup, cukup menutup pintu rapat dan pintu satu tetap terbuka, namun untuk pintu kedua yakni pintu rapat ditutup karena rapat tertutup.
"Kamu mengajari saya atau mengkonfirmasi, saya sudah lama menjadi anggota dewan dan saya aktivis dari tahun 1999, masa kamu tidak tahu, jika kamu mengajari saya, maka telepon ini akan saya tutup, terkait rapat tertutup ya seperti itu, pintu dua yakni pintu rapat ditutup maka rapat dinyatakan tertutup, tetapi pintu satu terbuka," ujarnya.
Kemudian konfirmasi ke Ketua BKD DPRD Sumut, Pintor Banjarnahor. Dalam pernyataannya melalui short message via whatsapp mengatakan bahwa posisinya di luar kota.
"Nanti BKD akan rapat untuk membahas Surat dan pengaduan yg masuk. Salam sehat," ujarnya.
[hbk7 chard]
0 التعليقات:
Posting Komentar