Medan || Diduga Oknum anggota DPRD Sumatera Utara dari Fraksi Partai Golkar Edi Suhrahman Sinurayah yang juga sebagai Sekretaris Komisi E DPRD Sumut telah melukai kebebasan pers dan menghalang halangi tugas wartawan hingga terjadi pengusiran terhadap wartawan, Senin 15 September 2025.
Pengusiran wartawan itu terjadi saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dinas Pendidikan Sumut yang pada saat itu Kadisnya, Alexander Sinulingga hadir yang sebelum sebelumnya di beberapa rdp tidak pernah hadir. Dan pengusiran itu merupakan tamparan keras terhadap demokrasi.
Untuk rapat dengar pendapat tersebut, kata Dr. Shohibul Anshor Siregar, Drs., M.Si, selaku Aktivis dan Pengamat Politik, bahwa Komisi E haruslah terlebih dahulu mengumumkan atau memberitahukan kepada pihak luar terutama pers, bahwa rdp itu tertutup yang hanya boleh pihak Komisi E bersama staf dan pihak counterpart, Dinas Pendidikan dan jajaran yang diperkenankan mengikuti rdp tersebut.
"Jika rdp tanpa pemberitahuan bahwa rapat itu tertutup sebelum dimulai, berarti disinyalir bahwa Oknum Politisi Partai Golkar tersebut bertindak secara Ilegal, artinya tidak punya kapasitas menghardik dan mengusir wartawan apalagi dengan nada keras, karena tugas wartawan itu adalah menjalankan mandat konstitusional pers, mencari dan menyampaikan informasi publik," terang Shohibul kepada wartawan, Minggu (21/9/2025).
Masih kata Shohibul, tindakan mengusir, apalagi dengan cara arogan, bukan sekadar persoalan etika, melainkan berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40/1999 yang dengan tegas melarang penghalangan kerja jurnalis diancam pidana hingga dua tahun kurungan atau denda Rp500 Juta.
"Argumentasi bahwa rapat bersifat tertutup tidak serta-merta membenarkan pengusiran, sebab prosedur penutupan rapat harus jelas dan diumumkan sejak awal. Tanpa itu, pengusiran hanya menunjukkan sikap sewenang-wenang. DPRD sebagai representasi rakyat justru memperlihatkan wajah tertutup, padahal fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran hanya sah bila dikawal publik, antara lain melalui media," imbuhnya.
Shohibul juga mengungkapkan bahwa secara etis, perilaku membentak wartawan memperlihatkan rendahnya penghormatan terhadap pers. Padahal pers bukan musuh, melainkan mitra demokrasi yang memastikan rakyat mengetahui kerja wakilnya.
"Partai Golkar memang telah memanggil Edi, tetapi teguran saja tidak cukup. Dibutuhkan sanksi nyata dan perbaikan prosedur internal DPRD agar kejadian serupa tidak berulang," ujarnya.
Kasus ini adalah pengingat bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi hak publik untuk tahu. Setiap kali pejabat publik menghalangi kerja pers, yang dirampas bukan hanya kemerdekaan wartawan, melainkan juga hak rakyat atas informasi.
"Demokrasi tanpa keterbukaan hanyalah formalitas dan keterbukaan hanya hidup bila pers dibiarkan bekerja tanpa intimidasi," tutupnya.
[hbk7 chard]
0 التعليقات:
Posting Komentar